Foto: Salah satu paru-paru yang diambil dari pasien menunjukkan kerusakan besar. Foto: Northwestern Medicine |
TERBIT ■ Untuk pertama kalinya, pasien COVID-19 di Amerika Serikat menerima transplantasi paru-paru setelah virus corona merusak organ paru-parunya.
Wanita keturunan Hispanik berusia 20-an itu harus dirawat selama enam pekan di unit perawatan intensif di Northwestern Memorial Hospital, Chicago.
Ia mengalami sakit parah karena infeksi virus corona yang terus menggerogoti paru-parunya. Si wanita juga mesti menggunakan ventilator dan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) untuk menjaga jantung dan paru-parunya tetap berjalan.
Namun, memasuki awal Juli, paru-paru wanita tersebut mengalami kerusakan yang parah dan tampaknya tidak dapat dipulihkan. Ia kemudian masuk ke dalam daftar tunggu penerima transplantasi paru-paru ganda. Artinya, kedua paru-paru pasien akan diganti dengan paru-paru sehat dari donor yang telah meninggal.
Menurut Harvard Medical School, praktik ini pertama kali dilakukan pada 1960-an, namun dihentikan pada tahun 1990-an. Kendati dapat menyelamatkan nyawa seseorang, namun transplantasi paru-paru sangat berisiko, jika dibandingkan dengan transplantasi ginjal atau jantung.
Di tahun inilah transplantasi paru-paru dilakukan kembali untuk menyelamatkan nyawa pasien COVID-19, penyakit yang disebabkan virus corona SARS-CoV-2. Namun, sebelum pasien dapat menjalani transplantasi, ia harus sembuh dulu dari infeksi virus corona.
Menurut kelompok riset Mayo Clinic, transplantasi paru-paru tidak bisa dilakukan kepada orang yang terinfeksi. Ini tak lain karena pasien harus diberikan obat tertentu yang bisa melemahkan kekebalan tubuhnya.
“Selama beberapa hari, dia adalah orang yang paling sakit yang dirawat di ICU COVID-19, dan mungkin di seluruh rumah sakit. Ada begitu banyak waktu, siang dan malam, tim kami harus merawatnya dengan cepat untuk membantunya oksigenasi dan mendukung organ-organ lainnya guna memastikan wanita itu sehat untuk menjalani transplantasi,” ujar Dr Beth Malsin, spesialis paru dan perawatan kritis di Northwestern Memorial Hospital, seperti dikutip dari Live Science.
“Salah satu kabar yang paling menggembirakan adalah ketika hasil tes virus corona wanita itu menunjukkan negatif dan itu artinya virus sudah tidak ada di tubuhnya. Kami memiliki tanda pertama bahwa dia memenuhi syarat untuk melakukan transplantasi yang bisa menyelamatkan jiwanya," sambungnya.
Melihat kesempatan itu, tim dokter langsung melakukan operasi transplantasi paru-paru. Operasi memakan waktu sekitar 10 jam, beberapa jam lebih lama dari biasanya karena virus corona telah menyebabkan paru-paru pasien rusak total hingga menyebar ke jaringan di sekitarnya, seperti jantung, dinding dada, dan diafragma.
Menurut Dr Ankit Bharat, kepala bedah toraks dan direktur bedah program transplantasi paru-paru di Northwestern Medicine, kerusakan paru-paru si wanita adalah yang terburuk yang pernah ia lihat.
Padahal, saat terjangkit virus corona, pasien tidak memiliki kondisi medis yang mendasarinya. Artinya, wanita ini tidak memiliki penyakit penyerta yang bisa membuat infeksi lebih parah.
Selama dirawat, pasien hanya diberi obat biasa yang digunakan untuk penyakit ringan. Tidak jelas apakah obat itu membuat pasien lebih rentan terhadap virus atau tidak.
Meski begitu, Bharat mengatakan bahwa saat ini kondisi wanita itu telah membaik usai menjalani transplantasi paru-paru.
“Dia masih perlu dirawat untuk memulihkan kondisinya, dan masih menggunakan ventilator. Dia sekarang diberi obat untuk menekan sistem kekebalan tubuh agar tubuhnya tidak menolak paru-paru yang dapat meningkatkan risiko infeksi,” kata Bharat, kepada The New York Times.
Bagaimanapun, kata Bharat, transplantasi paru-paru adalah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Walau prosedur transplantasi cukup berisiko, tapi dengan kehati-hatian dan prosedur yang sesuai semuanya bisa dilaksanakan dengan aman.
Setelah melakukan transplantasi paru-paru, lebih dari 85 hingga 90 persen pasien dapat bertahan hidup satu tahun dan paru-paru bisa berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari.
"Bagaimana seorang wanita sehat berusia 20-an sampai pada titik ini? Masih banyak yang kita belum pelajari tentang COVID-19," ungkap Dr. Rade Tomic, seorang pulmonolog dan direktur medis Program Transplantasi Paru di Northwestern Medicine. (sumber: kumparan)