TERBIT.ID, Sukabumi - Wacana amandemen konstitusi kelima yang mengembalikan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memilih presiden memicu pro dan kontra di kalangan politikus serta masyarakat. Banyak yang menilai langkah ini sebagai ancaman terhadap demokrasi dan hak warga negara dalam proses politik.
Seorang mahasiswa yang pernah belajar konstitusi pada mata kuliah hukum tata negara, sekaligus sebagai ketua Ideas Muda Sukabumi Abdul Majid menyatakan, Wacana amandemen konstitusi kelima yang mengembalikan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memilih presiden tengah menjadi topik panas di kalangan politikus dan masyarakat. Pro-kontra yang muncul mencerminkan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan negara dan keinginan untuk memastikan demokrasi tetap hidup.
Bahwa negara dibentuk atas dasar kesepakatan masyarakat atau contract social. "Indonesia dengan keberagaman budaya dan suku berjanji untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang dideklarasikan oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1945," ujar Majid.
Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak untuk berkontribusi dalam menentukan arah negara, termasuk hak memilih dan dipilih. Namun, wacana amandemen ini dinilai sebagai langkah konservatif yang dapat menghilangkan hak fundamental tersebut.
"Rakyat sudah mendelegasikan sebagian kekuasaan mereka kepada wakil-wakil di legislatif. Mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih presiden hanya akan membuat masyarakat menjadi penonton di negeri sendiri," tambahnya.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa jika MPR kembali memiliki kewenangan untuk memilih presiden, lembaga ini akan menjadi yang paling dominan, menghilangkan kesetaraan dengan lembaga tinggi lainnya. "Ini bisa berdampak pada dinamika politik dan stabilitas pemerintahan. DPR yang seharusnya mengawasi pemerintahan bisa terganggu kinerjanya oleh dinamika politik di MPR," jelasnya.
Lebih lanjut Abdul Majid sebagai analis politik menambahkan bahwa fokus pemerintah seharusnya pada perbaikan sistem pemilihan umum yang sudah berjalan.
"Mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih presiden bukan solusi atas politik uang. Presidential Threshold masih menjadi bargain politik yang masif dalam mengusung calon presiden," katanya.
Mengutip Susan B. Anthony, seorang reformis sosial perempuan asal Amerika, "Hak pilih adalah hak yang sangat penting." Hak untuk memilih adalah hak fundamental untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan upaya untuk menghilangkan hak ini melalui amandemen konstitusi bisa merusak demokrasi Indonesia yang telah dibangun dengan susah payah.
Redaktur : R.Cking.